Sabtu, 19 Januari 2013

BAB I


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang pendidikan memiliki peranan penting untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas diharapkan mampu mengkritisi perubahan yang terjadi dan mampu bersaing dalam berbagai aspek di masa yang akan datang. Salah satu program pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan kreatif adalah matematika.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan sejak sekolah dasar. Pentingnya mata pelajaran matematika diberikan di sekolah karena matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan dan semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar yang dewasa ini telah berkembang sangat pesat, baik materi maupun kegunaannya. Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki objek abstrak yang berlandaskan kebenaran dan konsitensi. Kebenaran dan konsistensi matematika bukanlah yang pertama kali dikenal oleh siswa dalam pembelajaran matematika.
Matematika sangatlah penting diajarkan karena mempunyai keterkaitan dengan pelajaran lain, juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kemampuan matematika. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam meningkatkan sumber daya manusia maka peningkatan mutu pendidikan matematika di semua jenis dan jenjang pendidikan selalu diupayakan. Upaya peningkatan mutu pendidikan matematika telah banyak dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan memperbaiki Kurikulum 1994 dengan mengembangkan Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dalam Depdiknas[1] yang berlaku saat ini dijelaskan bahwa tujuan dari pendidikan matematika adalah:
1)   Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah;
2)   Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
3)   Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4)   Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5)   Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dalam pembelajaran matematika idealnya tujuan-tujuan tersebut harus dikuasai siswa. Penguasaan matematika dengan baik akan membantu dalam berpikir secara logis dan memahami teknologi informasi dengan mudah. Namun melihat realita yang terjadi di lapangan, pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah adalah pembelajaran yang kebanyakan siswa mendeskripsikan matematika sebagai pembelajaran yang sangat menakutkan. Hal ini tebukti adanya bahwa matematika adalah salah satu mata pelajaran yang tidak disukai oleh siswa. Menurut Yayasan Peduli Matematika Indonesia (YPMI) ada 5 mitos yang menyesatkan sehingga menyebabkan matematika tidak disukai siswa yaitu:
1) Matematika adalah ilmu yang sangat sukar sehingga sedikit siswa dengan IQ minimal tertentu yang mampu memahaminya;
2) Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus;
3) Matematika selalu berhubungan dengan kecepatan menghitung;
4) Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita,
5) Matematika adalah ilmu yang membosankan, kaku dan  rekreatif.

Sikap negatif siswa terhadap matematika berkorelasi negatif terhadap prestasi belajar siswa dalam matematika. [2]
Semua mitos tersebut yang mengakibatkan mayoritas siswa tidak menyukai matematika dan beranggapan bahwa matematika itu sulit serta menakutkan. Banyak faktor yang menyebabkan siswa memiliki sikap negatif terhadap pembelajaran matematika. Salah satunya penyebabnya adalah selama ini kebanyakan pembelajaran matematika masih bersifat konvensional dan monoton yang berpusat pada guru. Guru masih menyampaikan materi dengan pendekatan tradisional yang menekankan pada latihan pengerjaan soal-soal, prosedural, serta penggunaan rumus. Siswa hanya menerima pengetahuan dari guru tanpa melalui pengolahan potensi yang ada pada dirinya. Akibatnya dalam memahami konsep matematika, siswa menempuhnya dengan cara menghafal. Hal ini dapat menimbulkan persepsi dalam diri siswa, bahwa matematika hanyalah kumpulan rumus yang harus dihafal tanpa harus mengasah dahulu pola pikirnya dan mengetahui tahap penemuan serta manfaat dari rumus tersebut. Karena itulah akhirnya banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menerapkan rumus untuk menyelesaikan soal-soal dan kemampuan berpikir kritisnyapun kurang berkembang secara optimal.
Sampai saat ini belum ada suatu data atau fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika di Indonesia sudah berhasil baik. Hal ini senada dengan yang terjadi di kelas Sekolah Menengah Pertama bahwa  dalam pembelajaran matematika untuk tingkat berpikir kritis siswa sekolah menengah pertama dalam tahap perkembangan. Siswa kurang mengembangkan kreativitas dan produktivitas berpikirnya. Komunikasi yang terjalin dalam pembelajaran pun terjadi satu arah, sehingga kurangnya keterbukaan siswa kepada guru atau sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada siswa, mereka hanya bisa mengerjakan soal matematika yang sama dengan contoh yang telah diberikan guru. Apabila ada angka yang sedikit dibedakan dengan contoh soal yang diberikan guru, mereka akan kesulitan mengerjakan. Mereka hanya asal mengerjakan tanpa berpikir terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan bagaimana mengerjakan soal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan pemecahan permasalahan dalam matematika. Hal tersebut mengakibatkan hasil belajar matematika siswa masih tergolong rendah dan menjadi salah satu masalah yang berkepanjangan.
Apabila proses pembelajaran matematika seperti terus dilakukan oleh guru, maka pola berpikir siswa tidak akan berkembang. Ruseffendi [3] menyatakan bahwa ‘Terdapat banyak anak yang setelah belajar matematika bagian yang sederhana pun banyak yang tidak dipahaminya, bahkan banyak konsep yang dipahami secara keliru’. Hal ini membuktikan masih banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika karena berpikir kritisnya kurang terpacu.
Oleh karena itu perlunya suatu perubahan untuk memperbaharui  hasil belajar matematika siswa agar lebih optimal. Salah satu cara yang dipandang sebagai alternatif dan dapat mengatasi permasalahan di atas adalah dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis dapat dipacu dengan mengajukan pertanyaan yang ditingkatkan kompleksitasnya. Ini merupakan hal yang penting dalam pendidikan matematika. Siswa perlu dibekali keterampilan berpikir kritis supaya siswa mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi secara kritis dan kreatif. Pemikiran kritis, kreatif, sistematis  dan logis ini dapat dikembangkan melalui pendidikan matematika.
Metode pembelajaran yang biasanya hanya sekedar transfer informasi dan menyamaratakan kemampuan siswa, harus diubah menjadi suatu pembelajaran yang menyenangkan serta melibatkan siswa secara aktif agar mereka dapat melatih kemampuan berpikir kritisnya, mengembangkan potensi dengan baik berdasarkan kemampuan, minat, dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi guru untuk menciptakan suatu pembelajaran matematika agar siswa tidak lagi menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang membosankan, hanya menghafal rumus tanpa mengerti dan mampu mengaplikasikannya, serta kemampuan berpikir kritisnyapun dapat meningkat.
Sumarmo[4] menyatakan bahwa:
Pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematika siswa yang meliputi kemampuan menggali, menyusun konjektur, menalar secara logis, menyelesaikan soal yang tidak rutin, menyelesaikan masalah (pemecahan masalah), berkomunikasi secara matematika dan mengkaitkan ide matematik dengan kegiatan intelektual lainnya.

Dengan berbagai cara belajar yang dimiliki oleh siswa, seyogianya guru harus bisa menyiapkan sebuah skenario yang dapat membelajarkan siswa untuk belajar aktif dengan cara belajar mereka yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa tarhadap pemecahan masalah matematika diperlukan suatu strategi yang tepat dalam kegiatan pembelajaran agar hasil belajar siswa lebih optimal serta bisa menghapus persepsi negatif siswa terhadap matematika. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL).
PBL adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Proses pemecahan masalah dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan nyata siswa lalu dari masalah tersebut siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru.
PBL merupakan serangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa dan diharapkan siswa tidak hanya sekedar duduk, mendengarkan, mencatat kemudian menghapal materi pelajaran melainkan siswa aktif berpikir dan  berkomunikasi.
Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran dimana masalah dihadirkan di kelas dan siswa diminta untuk menyelesaikannya dengan segala pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Pembelajaran bukan lagi sebagai “transfer of knowledge”, tetapi mengembangkan potensi siswa secara sadar melalui kemampuan yang lebih dinamis dan aplikatif.
Menurut Sanjaya[5] ada 3 ciri utama dari PBL, yaitu:
1)   PBL merupakan serangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Diharapkan siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran melainkan siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan;
2)    Aktivitas pembelajaran di arahkan untuk menyelesaikan masalah. PBL menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada pembelajaran;
3)   Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.

Dengan pertimbangan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengangkat judul:
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VII SMP Negeri 6 Bukittinggi ).
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasikan  beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Anggapan negatif siswa terhadap pelajaran matematika.
Anggapan yang tidak hanya mengatakan matematika itu sulit, banyak rumus-rumus yang memusingkan, dan lain sebagainya.
2.      Pembelajaran matematika masih bersifat konvensional dan monoton yang berpusat pada guru.
3.      Nilai metematika siswa rendah. Hal ini sangat berkolerasi dengan anggapan-anggapan negatif siswa terhadap matematika.
4.      Pola pikir kritis yang masih belum berkembang baik pada siswa Sekolah Menengah Pertama.
C.  Kerangka Berpikir
Penelitian ini menindak lanjuti pengaruh antara variabel proses dan variabel hasil. Variabel proses berupa penggunaan model PBL dan variabel hasil adalah kemampuan berpikir kritis siswa sekolah dasar. Model PBL ini merupakan strategi pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada permasalahan-permasalahan dunia nyata sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain permasalahan-permasalahan dibawa ke kelas dan siswa memecahkan permasalahan matematika tersebut dengan segala kemampuan yang mereka miliki dari berbagai sumber yang didapatinya sehingga siswa akan dibangkitkan potensinya untuk berpikir kritis.
Dengan demikian model PBL diyakini mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Atas dasar pertimbangan itulah penulis meyakini bahwa: Jika model PBL ini diterapkan dalam pembelajaran matematika maka dapat meningkatkan berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika.
D.  Anggapan Dasar
Menurut Surakhmad[6] “Anggapan dasar merupakan titik tolak pemikiran yang kebenarannya dapat diterima oleh peneliti sendiri”.  Adapun yang menjadi anggapan dasar penelitian ini adalah:
1.    Pembelajaran matematika akan lebih efektif apabila siswa dikondisikan dalam pembelajaran dengan situasi yang menarik dan nyata dengan realita kehidupannya.
2.    Penggunaan model PBL dalam pembelajaran matematika akan menjadikan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa.
3.    Siswa yang belajar dengan menggunakan model PBL dapat berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
E.  Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis sementara yang diambil dalam penelitian ini dirummuskan sebagai berikut: Ada perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model PBL dibandingkan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
F.     Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup permasalahan dan agar  masalah yang diteliti lebih terarah, maka permasalahan yang diteliti difokuskan pada Peningkatan kemampuan kritis siswa Sekolah Menengah Pertama dengan model pembelajaran Matematika dengan model Problem Based Learning di kelas VII SMP Negeri 6 Bukittinggi.
G.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.    Bagaimana kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model PBL dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional?
2.    Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model PBL dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional?
3.    Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika melalui penggunaan model PBL?
H.  Defenisi Operasional
Agar tidak terjadinya kesalahpahaman dalam memahami skripsi ini, peneliti akan menjelaskan beberapa istilah:
1.    Pembelajaran matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk meningkatkan pola pikir. Kompetensi Dasar yang ditetapkan adalah menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana.
2.    Model PBL adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan  dan konsep yang esensial dari materi pembelajaran.
3.    Kemampuan berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan berpikir siswa secara beralasan dan pertimbangan mendalam yang dapat membantu dalam membuat, mengevaluasi, mengambil dan memperkuat suatu keputusan atau suatu kesimpulan tentang situasi matematika yang dihadapinya.
4.    Pembelajaran konvensional  merupakan  pembelajaran  ekspositori (secara klasikal), guru menjelaskan materi pelajaran, kemudian siswa mengerjakan latihan.
I.     Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Mengatahui kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model PBL dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.
2.    Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika melalui model PBL dengan  model pembelajaran konvensional.
3.    Mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model PBL.
J.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1.    Bagi peneliti
Dapat memberikan informasi sejauh mana pembelajaran dengan menggunakan model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
2.    Bagi guru matematika
Dapat dijadikan sebagai salah satu masukan untuk memilih dan mengembangkan alternatif model pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah matematika.

3.    Bagi siswa
a.    Melalui pembelajaran dengan model PBL ini diharapkan dapat memotivasi siswa sehingga siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya dalam setiap pemecahan masalah matematika.
b.    Model PBL dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai sebuah pengalaman baru dalam belajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.



[1] Departemen Pendidikan Nasional. Standar Kompetensi Dasar KTSP 2006. (Jakarta: Depdiknas.2006). hal.110
[2] Ruseffendi, E.T. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Bandung: Tarsito1991).hal.234
[3] Anne Riyanti. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SD dalam Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan Investigasi. (Skripsi Program SI PGSD UPI Tasikmalaya.2010).hal 3
[4] Laila Nurhasanah. Meningkatkan Kompetensi Strategi Siswa SMP Melalui PBL. (Skripsi FMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan2009).hal3.

[5] Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2006).hal.212
[6] Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: PT Rineka Cipta.2006).hal.65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar