BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan
di bidang pendidikan memiliki peranan penting untuk meningkatkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas diharapkan
mampu mengkritisi perubahan yang terjadi dan mampu
bersaing dalam berbagai aspek di masa yang akan datang. Salah satu program
pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis,
sistematis dan kreatif adalah matematika.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang
diajarkan sejak sekolah dasar. Pentingnya mata pelajaran matematika diberikan di sekolah karena matematika selalu
digunakan dalam segala segi kehidupan dan semua bidang studi memerlukan
keterampilan matematika yang sesuai. Matematika
sebagai salah satu ilmu dasar yang dewasa ini telah berkembang sangat pesat, baik materi maupun kegunaannya. Matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki objek
abstrak yang berlandaskan kebenaran dan konsitensi. Kebenaran dan konsistensi matematika bukanlah yang
pertama kali dikenal oleh siswa dalam pembelajaran matematika.
Matematika
sangatlah penting diajarkan karena mempunyai keterkaitan dengan pelajaran lain,
juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siswa
harus memiliki kemampuan matematika. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam
meningkatkan sumber daya manusia maka
peningkatan mutu pendidikan matematika di semua jenis dan jenjang pendidikan
selalu diupayakan. Upaya peningkatan mutu pendidikan matematika telah banyak
dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan memperbaiki Kurikulum 1994 dengan
mengembangkan Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Dalam Depdiknas[1] yang berlaku saat ini dijelaskan bahwa
tujuan dari pendidikan matematika adalah:
1)
Memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau logaritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah;
2)
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan
dan pernyataan matematika;
3)
Memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4)
Mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan
atau masalah;
5)
Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam pemecahan masalah.
Dalam
pembelajaran matematika idealnya tujuan-tujuan tersebut harus dikuasai siswa. Penguasaan
matematika dengan baik akan membantu dalam berpikir secara logis dan memahami
teknologi informasi dengan mudah. Namun melihat realita yang terjadi di
lapangan, pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah adalah pembelajaran yang kebanyakan
siswa mendeskripsikan matematika sebagai pembelajaran yang sangat menakutkan. Hal
ini tebukti adanya bahwa matematika adalah salah satu mata pelajaran yang tidak disukai oleh siswa. Menurut
Yayasan Peduli Matematika Indonesia (YPMI) ada 5 mitos yang menyesatkan sehingga menyebabkan matematika
tidak disukai siswa yaitu:
1)
Matematika adalah ilmu yang sangat sukar sehingga sedikit
siswa dengan IQ minimal tertentu yang mampu memahaminya;
2)
Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus;
3)
Matematika selalu berhubungan dengan kecepatan menghitung;
4)
Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita,
5) Matematika adalah ilmu yang membosankan, kaku dan rekreatif.
“Sikap negatif siswa terhadap matematika berkorelasi
negatif terhadap prestasi belajar siswa dalam matematika”. [2]
Semua mitos tersebut yang mengakibatkan mayoritas siswa
tidak menyukai matematika dan beranggapan bahwa matematika itu sulit serta
menakutkan. Banyak
faktor yang menyebabkan siswa memiliki sikap negatif terhadap pembelajaran
matematika. Salah satunya penyebabnya adalah selama ini kebanyakan pembelajaran
matematika masih bersifat konvensional dan monoton yang berpusat pada guru. Guru
masih menyampaikan materi dengan pendekatan tradisional yang menekankan pada
latihan pengerjaan soal-soal, prosedural, serta penggunaan rumus. Siswa hanya
menerima pengetahuan dari guru tanpa melalui pengolahan potensi yang ada pada
dirinya. Akibatnya dalam memahami konsep matematika, siswa menempuhnya dengan
cara menghafal. Hal ini dapat menimbulkan persepsi dalam diri siswa, bahwa
matematika hanyalah kumpulan rumus yang harus dihafal tanpa harus mengasah
dahulu pola pikirnya dan mengetahui tahap penemuan serta manfaat dari rumus
tersebut. Karena itulah akhirnya banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam
menerapkan rumus untuk menyelesaikan soal-soal dan kemampuan berpikir
kritisnyapun kurang berkembang secara optimal.
Sampai
saat ini belum ada suatu data atau fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa
kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika di Indonesia
sudah berhasil baik. Hal ini senada
dengan yang terjadi di kelas Sekolah
Menengah Pertama bahwa dalam pembelajaran matematika untuk tingkat
berpikir kritis siswa sekolah
menengah pertama dalam tahap perkembangan. Siswa
kurang mengembangkan kreativitas dan produktivitas berpikirnya. Komunikasi yang
terjalin dalam pembelajaran pun terjadi satu arah, sehingga kurangnya
keterbukaan siswa kepada guru atau sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada siswa, mereka
hanya bisa mengerjakan soal matematika yang sama dengan contoh yang telah
diberikan guru. Apabila ada angka yang sedikit dibedakan dengan contoh soal
yang diberikan guru, mereka akan kesulitan mengerjakan. Mereka hanya asal
mengerjakan tanpa berpikir terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan bagaimana
mengerjakan soal tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan pemecahan
permasalahan dalam matematika. Hal
tersebut mengakibatkan hasil belajar matematika siswa masih tergolong rendah
dan menjadi salah satu masalah yang berkepanjangan.
Apabila proses pembelajaran matematika seperti terus
dilakukan oleh guru, maka pola berpikir siswa tidak akan berkembang. Ruseffendi
[3]
menyatakan bahwa ‘Terdapat banyak anak yang setelah belajar matematika bagian
yang sederhana pun banyak yang tidak dipahaminya, bahkan banyak konsep yang
dipahami secara keliru’. Hal ini membuktikan masih banyak siswa yang mengalami
kesulitan belajar matematika karena berpikir kritisnya kurang terpacu.
Oleh
karena itu perlunya suatu perubahan untuk memperbaharui hasil belajar matematika siswa agar lebih
optimal. Salah satu cara yang
dipandang sebagai alternatif dan dapat mengatasi permasalahan di atas adalah
dengan meningkatkan
kemampuan berpikir kritis.
Berpikir kritis dapat dipacu dengan mengajukan pertanyaan yang ditingkatkan
kompleksitasnya. Ini merupakan hal yang penting
dalam pendidikan matematika. Siswa
perlu dibekali keterampilan berpikir kritis supaya siswa mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi
secara kritis dan kreatif. Pemikiran kritis, kreatif, sistematis dan logis ini dapat dikembangkan melalui
pendidikan matematika.
Metode pembelajaran yang biasanya hanya sekedar transfer
informasi dan menyamaratakan kemampuan siswa, harus diubah menjadi suatu
pembelajaran yang menyenangkan serta melibatkan siswa secara aktif agar mereka
dapat melatih kemampuan berpikir kritisnya, mengembangkan potensi dengan baik
berdasarkan kemampuan, minat, dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini menjadi
suatu tantangan bagi guru untuk menciptakan suatu pembelajaran matematika agar
siswa tidak lagi menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang membosankan,
hanya menghafal rumus tanpa mengerti dan mampu mengaplikasikannya, serta
kemampuan berpikir kritisnyapun dapat meningkat.
Pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan
pada pengembangan daya matematika siswa yang meliputi kemampuan menggali,
menyusun konjektur, menalar secara logis, menyelesaikan soal yang tidak rutin,
menyelesaikan masalah (pemecahan masalah), berkomunikasi secara matematika dan
mengkaitkan ide matematik
dengan kegiatan intelektual lainnya.
Dengan berbagai cara belajar yang dimiliki oleh siswa,
seyogianya guru harus bisa menyiapkan sebuah skenario yang dapat membelajarkan
siswa untuk belajar aktif dengan cara belajar mereka yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa tarhadap pemecahan masalah matematika diperlukan suatu
strategi yang tepat dalam kegiatan pembelajaran agar hasil belajar siswa lebih
optimal serta bisa menghapus persepsi negatif siswa terhadap matematika. Salah
satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa adalah dengan
menggunakan model Problem Based Learning (PBL).
PBL adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia
nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan
keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Proses pemecahan masalah dilakukan secara
kolaborasi dan disesuaikan dengan kehidupan nyata siswa lalu dari masalah
tersebut siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior
knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru.
PBL
merupakan serangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada
sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa dan diharapkan siswa tidak hanya
sekedar duduk, mendengarkan, mencatat kemudian menghapal materi pelajaran
melainkan siswa aktif berpikir dan
berkomunikasi.
Kemampuan
berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran dimana masalah
dihadirkan di kelas dan siswa diminta untuk menyelesaikannya dengan segala pengetahuan dan keterampilan yang mereka
miliki. Pembelajaran bukan lagi sebagai “transfer
of knowledge”, tetapi mengembangkan potensi siswa secara sadar melalui
kemampuan yang lebih dinamis dan aplikatif.
Menurut
Sanjaya[5] ada
3 ciri utama dari PBL, yaitu:
1)
PBL merupakan
serangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah
kegiatan yang harus dilakukan siswa. Diharapkan siswa tidak hanya sekedar
mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran melainkan siswa
aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan;
2)
Aktivitas pembelajaran di arahkan untuk
menyelesaikan masalah. PBL menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses
pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada pembelajaran;
3)
Pemecahan masalah
dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.
Dengan pertimbangan permasalahan yang
telah dikemukakan di atas,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan
mengangkat judul:
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PROBLEM
BASED LEARNING (PBL) UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (Penelitian Kuasi Eksperimen
terhadap Siswa Kelas VII SMP Negeri 6
Bukittinggi ).
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah, maka dapat diidentifikasikan
beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Anggapan
negatif siswa terhadap pelajaran matematika.
Anggapan yang tidak
hanya mengatakan matematika itu sulit, banyak rumus-rumus yang memusingkan, dan
lain sebagainya.
2.
Pembelajaran matematika masih bersifat konvensional dan
monoton yang berpusat pada guru.
3.
Nilai
metematika siswa rendah. Hal ini sangat berkolerasi dengan anggapan-anggapan
negatif siswa terhadap matematika.
4.
Pola
pikir kritis yang masih belum berkembang baik pada siswa Sekolah Menengah
Pertama.
C. Kerangka Berpikir
Penelitian
ini menindak lanjuti pengaruh antara variabel proses dan variabel hasil.
Variabel proses berupa penggunaan model PBL dan variabel hasil adalah kemampuan
berpikir kritis siswa sekolah dasar. Model PBL ini merupakan strategi
pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada permasalahan-permasalahan dunia
nyata sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain
permasalahan-permasalahan dibawa ke kelas dan siswa memecahkan permasalahan
matematika tersebut dengan segala kemampuan yang mereka miliki dari berbagai sumber
yang didapatinya sehingga siswa akan dibangkitkan potensinya untuk berpikir
kritis.
Dengan
demikian model PBL diyakini mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Atas dasar pertimbangan itulah penulis meyakini bahwa: Jika model PBL ini diterapkan
dalam pembelajaran matematika maka dapat meningkatkan berpikir kritis siswa dalam
pemecahan masalah matematika.
D. Anggapan Dasar
Menurut
Surakhmad[6] “Anggapan dasar merupakan titik tolak pemikiran yang kebenarannya dapat diterima
oleh peneliti sendiri”.
Adapun yang menjadi anggapan dasar penelitian ini adalah:
1. Pembelajaran
matematika akan lebih efektif apabila siswa dikondisikan dalam pembelajaran
dengan situasi yang menarik dan nyata dengan realita kehidupannya.
2. Penggunaan
model PBL dalam pembelajaran matematika akan menjadikan pembelajaran lebih
bermakna bagi siswa.
3. Siswa
yang belajar dengan menggunakan model PBL dapat berpengaruh terhadap kemampuan
berpikir kritis siswa.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan
uraian di atas, hipotesis sementara yang diambil dalam penelitian ini
dirummuskan sebagai berikut: Ada perbedaan yang signifikan peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan
model PBL dibandingkan siswa yang mendapatkan
pembelajaran konvensional.
F. Pembatasan
Masalah
Mengingat
luasnya ruang lingkup permasalahan dan agar
masalah yang diteliti lebih terarah, maka permasalahan yang diteliti
difokuskan pada Peningkatan kemampuan kritis siswa Sekolah Menengah Pertama dengan
model pembelajaran Matematika
dengan model Problem Based Learning di kelas VII SMP Negeri 6 Bukittinggi.
G. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1.
Bagaimana kemampuan berpikir kritis
siswa dengan menggunakan model PBL dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran
konvensional?
2.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model PBL dibandingkan
dengan menggunakan pembelajaran konvensional?
3.
Bagaimana
sikap siswa terhadap pembelajaran matematika melalui penggunaan model PBL?
H. Defenisi Operasional
Agar tidak terjadinya kesalahpahaman dalam memahami
skripsi ini, peneliti akan menjelaskan beberapa istilah:
1. Pembelajaran matematika adalah suatu
ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk meningkatkan pola pikir. Kompetensi Dasar
yang ditetapkan adalah menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana.
2. Model PBL adalah suatu model pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensial dari materi pembelajaran.
3. Kemampuan
berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan berpikir siswa secara beralasan dan pertimbangan mendalam yang
dapat membantu dalam membuat, mengevaluasi, mengambil dan memperkuat suatu
keputusan atau suatu kesimpulan tentang situasi matematika yang dihadapinya.
4. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran
ekspositori (secara klasikal), guru menjelaskan materi pelajaran,
kemudian siswa mengerjakan latihan.
I.
Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan penelitian yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengatahui kemampuan berpikir kritis
siswa dengan menggunakan model PBL dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran
konvensional.
2.
Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika melalui model PBL dengan
model pembelajaran konvensional.
3.
Mengetahui
sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model
PBL.
J.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi peneliti
Dapat memberikan
informasi sejauh mana pembelajaran dengan menggunakan model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa.
2. Bagi guru matematika
Dapat dijadikan sebagai
salah satu masukan untuk memilih dan mengembangkan alternatif model
pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan berpikir kritis siswa dalam
pemecahan masalah matematika.
3. Bagi siswa
a. Melalui pembelajaran dengan model PBL ini diharapkan dapat
memotivasi siswa
sehingga siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mampu meningkatkan kemampuan
berpikir kritisnya dalam setiap pemecahan masalah matematika.
b. Model
PBL dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai sebuah pengalaman
baru dalam belajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
[1]
Departemen Pendidikan Nasional. Standar
Kompetensi Dasar KTSP 2006. (Jakarta: Depdiknas.2006). hal.110
[2] Ruseffendi, E.T. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Bandung: Tarsito1991).hal.234
[3] Anne Riyanti. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
SD dalam Pembelajaran Matematika melalui Pendekatan
Investigasi. (Skripsi Program SI PGSD UPI Tasikmalaya.2010).hal 3
[4] Laila Nurhasanah.
Meningkatkan Kompetensi Strategi Siswa SMP Melalui PBL. (Skripsi
FMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan2009).hal3.
[5]
Wina Sanjaya.
Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2006).hal.212
[6]
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
(Jakarta:
PT Rineka Cipta.2006).hal.65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar