BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pembelajaran
Matematika di Sekolah Menengah Pertama
1.
Hakikat Pembelajaran Matematika
Istilah matematika berasal dari Bahasa
Yunani, “mathematica”, dengan akar
kata mathema, yaitu “mathein” yang berarti belajar atau berpikir.
Karena itu, “mathematica” berarti relating to learning, berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh
dengan nalar.
Matematika adalah suatu cara manusia
berpikir, karena kebenaran dan keabsahan dalam matematika disajikan sesuai
dengan bagaimana pola pikir manusia. Hal ini terlihat dari kekhasan/kekhususan
matematika itu sendiri. Matematika sebagai alat dan pelayan ilmu, karena
matematika bukan hanya untuk matematika saja tetapi teori maupun pemakaian
praktis dalam matematika banyak membantu dan melayani ilmu-ilmu lain.
Hal ini dikemukakan pula oleh Ruseffendi[1], bahwa:
Matematika sebagai alat bantu dan pelayanan
ilmu yang tidak hanya untuk matematika itu sendiri melainkan juga untuk
ilmu-ilmu lainnya, baik untuk kepentingan teoritis maupun kepentingan praktis
sebagai aplikasi dari matematika.
Jadi hampir semua mata pelajaran
di sekolah menengah pertama memerlukan
perhitungan matematika, sehingga penguasaan masalah ini sangatlah penting.
Matematika diajarkan di sekolah karena dilihat dari kegunaannya adalah untuk
memecahkan persoalan sehari-hari dan persoalan ilmu lainnya. Alasan sama
seperti ilmu lain, yaitu untuk dipelihara dan dikembangkan. Menurut Kurikulum 2006[2] menjelaskan bahwa:
Matematika adalah suatu pelajaran yang diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar (SD) untuk membekali
para siswa dengan berpikir logis, analitis, kreatif, serta kemampuan kerjasama
agar dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi
untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti dan
kompetitif.
Menurut Rey[3]’Matematika
adalah telaahan tentang pola adan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir,
suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat’.
Ruang lingkup mata pelajaran
matematika pada satuan pendidikan SMP/MTS
sederajat meliputi aspek-aspek sebagai berikut: “1) Aljabar; 2) Geometri Bangun
datar.”
a.
Pembelajaran
matematika menggunakan pendekatan spiral. Pendekatan spiral dalam pembelajaran
matematika merupakan pendekatan dimana pembelajaran konsep atau suatu topik
matematika selalu mengkaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya.
b.
Pembelajaran
matematika bertahap. Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap
yaitu dimulai dari konsep-konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih rumit
dan komplek.
c.
Pembelajaran
matematika menggunakan metode induktif. Matematika merupakan ilmu deduktif,
namun karena sesuai tahap perkembangan mental siswa maka pada pembelajaran
matematika digunakan pendekatan induktif.
d.
Pembelajaran
matematika menganut kebenaran konsistensi. Artinya tidak ada pertentangan
antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya.
e.
Pembelajaran
matematika hendaknya bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran yang
mengutamakan pengertian daripada hapalan.
2. Tujuan
Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama
Menurut Suherman dkk[5], tujuan pembelajaran matematika mengacu pada fungsi matematika serta kepada
Tujuan Pendidikan Nasional, bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada
jenjang pendidikan dasar meliputi dua hal, yaitu:
a) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam
kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas
dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan
efisien;
b) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan.
B. Problem Based Learning (PBL)
1. Konsep
Dasar PBL
PBL didasarkan pada hasil penelitian
Barrow dan Tamblyn. PBL awalnya dirancang oleh Heward Barrow
dengan mengikuti ajaran John Dewey bahwa guru harus mengajar sesuai dengan
insting alami untuk menyelidiki dan menciptakan sesuatu. Heward Barrow adalah
seorang dosen fakultas kedokteran di MC Master University School of Medicine di
Hanulton, Ontario, Kanada pada tahun 1969. Sejak itu PBL menyebar ke seluruh
dunia. Tiga tahun kemudian dipakai di tiga tempat lainnya yaitu sekolah media
Universitas Limburg pada Maastricht Netherland, universitas Newcastle di
Australia dan Universitas New Mexico Amerika Serikat.
Duch[6]
mengatakan bahwa:
Suatu model pembelajaran yang menghadapkan siswa
tantangan “belajar untuk belajar”. Siswa aktif bekerja sama di dalam kelompok
untuk mencari solusi permasalahan dunia nyata. Permasalahan ini sebagai acuan
bagi siswa untuk merumuskan, mengenalisis dan memecahkannya.
Duch mengatakan bahwa model ini dimaksudkan
untuk mengembangkan siswa berpikir kritis, analitis dan untuk menemukan serta
menggunakan sumber daya yang sesuai untuk belajar.
PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Landasan teori PBL adalah kolaborativisme,
yaitu suatu pandangan yang berpendapat bahwa siswa akan menyusun pengetahuan
dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya
dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama
individu.
PBL memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat
dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan
yang otentik (nyata), relevan, dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Cara
tersebut bertujuan agar siswa memiliki pengalaman sebagaiamana nantinya mereka
hadapi di kehidupan profesionalnya. Pengalaman tersebut sangat penting karena
pembelajaran yang efektif dimulai dari pengalaman konkrit. Pertanyaan,
pengalaman, formulasi, serta penyususan konsep tentang pemasalahan yang mereka
ciptakan sendiri merupakan dasar untuk pembelajaran.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik
awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah
ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior
knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan
menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL. PBL
merupakan proses pembelajaran dimana masalah merupakan pemandu utama ke arah
pembelajaran tersebut.
Jadi dari beberapa definisi mengenai PBL,
dapat disimpulkan bahwa belajar PBL merupakan suatu penedekatan dimana siswa
dihadapkan pada permasalahan dunia nyata dan kegiatan-kegiatan pembelajaran, oleh karena itu PBL
menuntut siswa untuk berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah.
2. Karakteristik
PBL
Berdasarkan teori yang
dikembangkan Barrow, Min Liu[7]
menjelaskan karakteristik dari PBL, yaitu:
a.
Learning is student-centered. Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan
kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh
teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan
pengetahuannya sendiri.
b.
Authentic problems form the organizing focus for
learning. Masalah yang disajikan kepada siswa adalah
masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah
tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.
c.
New information is acquired through self-directed
learning. Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja
siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga
siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau
informasi lainnya.
d.
Learning occurs in small groups. Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam
usaha membangun pengetahuan secara kolaborative, maka PBL dilaksakan dalam
kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan
penetapan tujuan yang jelas.
e.
Teachers act as facilitators. Pada pelaksanaan PBM,
guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, walaupun begitu guru harus
selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai
target yang hendak dicapai.
Menurut Pierce dan Jones[8],
kejadian yang harus muncul dalam pengimplementasian PBL yaitu:
a. Engagment, siswa berperan secara aktif sebagai pemecah masalah,
siswa dihadapkan pada situasi yang mendorongnya agar mampu menemukan masalah
dan memecahkannya.
b. Inquiry, siswa bekerja sama dengan yang lainnya untuk
mengumpulkan informasi melalui kegiatan penyelidikan.
c. Solution Building, siswa bekerja sama melakukan
diskusi untuk menemukan penyelesaian masalah yang disajikan.
d. Debriefing and reflection, siswa melakukan sharing mengenai pendapat dan idenya dengan yang lain melalui
kegiatan tanya jawab untuk mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah.
e. Presentation of finding, siswa menuliskan rencana, laporan
kegiatan atau produk lain yang dihasilkannya selama pembelajaran kemudian
mempresentasikan kepada yang lain.
3. Tahap
Pembelajaran dalam PBL
Adapun tahapan
pelaksanaan model PBL di kelas menurut Ismail dan Sudibyo[9]
adalah:
a.
Guru memperkenalkan siswa dengan suatu masalah
b.
Guru mengorganisasi siswa dalam kelompok kecil
c.
Menetapkan hal-hal yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan masalah
d.
Siswa melakukan kegiatan penyelidikan guna mendapatkan
konsep untuk menyelesaikan masalah kemudian membuat laporan
e.
Siswa merepresentasikannya
f.
Diakhiri dengan penyajian serta analisis evaluasi hasil
dan proses.
Pembagian tahapan-tahapan belajar dalam PBL dapat
digambarkan
dalam bagan berikut:
4. Keunggulan
PBL
Beberapa
faktor kelebihan dari PBL, diantaranya:
a.
Teknik
yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b.
Dapat
menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahan
baru bagi siswa.
c.
Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d.
Dapat membantu
siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam
kehidupan nyata.
e.
Dapat
membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab
dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f.
Dapat
memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan
cara berpikir dan sesutu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar
belajar dari guru atau dari buku-buku paket.
g.
Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
h.
Dapat
mengembangkan kemampuan siswa untuk beerpikir kritis siswa dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
i.
Dapat
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka
miliki dalam dunia nyata.
j.
Dapat
mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar
pada pendidikan formal telah berakhir.
5. Kelemahan
PBL
Beberapa
kelemahan dari PBL, diantaranya:
a.
Manakala
siswa tidak memiliki minat atau mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan mereka akan merasa malas untuk mencoba.
b.
Keberhasilan
strategi pembelajaran melalui PBL membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c.
Tanpa
pemahaman mereka berusaha untuk memecahkan yang sedang dipelajari, maka mereka
tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
6. Teori
Belajar yang Melandasi Pembelajaran Tentang PBL
Dua tokoh kontruktivistik yang banyak
berbicara tentang PBL, diantaranya adalah:
John Dewey[10]
dalam Democrasy and Education mengatakan
bahwa sekolah merupakan labortaorium bagi siswa untuk penyelidikan dan
pengatasian masalah kehidupan sehari-hari dalam dunia nyata. Pedagogi Dewey
mendorong guru untuk melibatkan siswa diberbagai proyek berorientasi masalah
dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah.
Teori belajar dari Jean
Piaget[11]
mengungkapkan bahwa proses berpikir sebagai aktivitas fungsi intelektual secara
berangsur dari konkrit menuju abstrak. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan
intelektual individu menjadi empat tahap, yaitu tahap sensori motor, tahap pra
operasi, tehap operasi konkrit dan tahap operasi formal.
Menurut Piaget[12],
pengetahuan dikonstruksi dalam pikiran anak. Pembelajaran merupakan proses
aktif artinya pengetahuan baru tidak terbentuk dengan diberikan kepada siswa
dalam bentuk jadi, tetapi pengetahuan dibentuk sendiri oleh siswa dengan
berinteraksi terhadap lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata
yang telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus
baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung.
Perspektif
kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan PBL banyak meminjam pendapat
Piaget[13]. Perspektif ini mengatakan, seperti yang juga
dikatakan oleh Piaget bahwa pelajar dengan umur berapa pun terlibat secara
aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya
sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan
selama pelajar mengonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka
untuk mendasarkan diri dan memodifikasi
pengetahuan sebelumnya.
Menurut Piaget, pedagogi yang baik itu harus melibatkan penyodoran
berbagai situasi dimana anak bisa bereksperimen, yang dalam artinya paling luas
yaitu mengujicobakan berbagai hal untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi
benda-benda; memanipulasi simbol-simbol; melontarkan pertanyaan dan mencari
jawabannya sendiri; merekonsiliasikan apa yang ditemukannya suatu waktu dengan
apa yang ditemukannya pada waktu yang lain; dan membandingkan temuannya dengan temuan anak-anak lain.
C. Kemampuan
Berpikir Kritis
1. Konsep
Dasar Berpikir Kritis
Secara etimologis
berpikir dapat diartikan sebagai cara menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Berpikir adalah suatu aktivitas
kognitif seseorang yang digunakan untuk menerima, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi yang diperoleh dengan menggunakan akal.
Berpikir kritis banyak
didefinisikan oleh para ahli dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya:
Menurut Sukmadinata[14] menyatakan bahwa
’Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan
sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberikan
keyakinan, menganalisis asumsi, dan pencarian ilmiah.’
Menurut Mayers[16]
mengatakan bahwa:
Pengembangan kemampuan berpikir kritis harus didukung oleh lingkungan kelas
yang mendorong munculnya diskusi tanya jawab, penyelidikan dan pertimbangan. Lingkungan kelas yang demikian dapat dibuat melalui
pengaturan waktu yang memungkinkan lebih banyak diskusi dan melalui pembuatan
tugas-tugas yang efektif dan jelas.
Sedangkan menurut Piaget[17],
setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
a.
Sensori-motor
(0 – 2 tahun)
b.
Pra-operasional
(2 – 7 tahun)
c.
Operasional
konkrit (7 – 11 tahun)
d.
Operasi
formal (11 tahun – ke atas)
Secara singkat dapat
dinyatakan bahwa berpikir kritis adalah kegiatan berpikir yang mendalam, komprehensif, argumentatif-logis, dan evaluatif. Berpikir kritis merupakan
sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental
seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi,
dan melakukan penelitian ilmiah.
2. Tujuan berpikir kritis
Berpikir kritis tidak bertujuan untuk menyerang atau menyudutkan orang lain.
Sasaran pikiran bukanlah pribadi individu, melainkan gagasan individu
a.
Berpikir kritis tidak berkaitan dengan menang atau
kalah dalam adu argumen, melainkan berpikir kritis bertujuan untuk mendapatkan
kebenaran.
b.
Berpikir kritis membantu individu dalam memecahkan
masalah.
3.
Indikator Berpikir
Kritis
Kemampuan berpikir kritis setiap orang
berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan suatu indikator sehingga kita dapat
menilai tingkat berpikir kritis seseorang. Wade[18] mengidentifikasi delapan
karakteristik berpikir kritis, yakni meliputi:
a.
Kegiatan
merumuskan pertanyaan
b.
Membatasi
permasalahan
c.
Menguji data-data
d.
Menganalisis
berbagai pendapat
e.
Menghindari
pertimbangan yang sangat emosional
f.
Menghindari
penyederhanaan berlebihan
g.
Mempertimbangkan
berbagai interpretasi
h.
Mentoleransi
ambiguitas.
Karakteristik lain yang berhubungan dengan
berpikir kritis, dijelaskan Beyer[19]
yaitu:
a.
Watak (dispositions)
Seseorang yang mempunyai keterampilan
berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah
kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap
kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan
akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
b.
Kriteria
(criteria)
Dalam berpikir kritis
harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka
harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah
argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai
kriteria yang berbeda.
c.
Argumen
(argument)
Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang
dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan
pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
d.
Pertimbangan
atau pemikiran (reasoning)
Pertimbangan atau
pemikiran yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa
premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa
pernyataan atau data.
e.
Sudut
pandang (point of view)
Sudut pandang adalah
cara memandang/menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna.
Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari
berbagai sudut pandang yang berbeda.
f.
Prosedur
penerapan kriteria (procedures for applying criteria)
Prosedur penerapan berpikir kritis sangat
kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan
permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi
perkiraan-perkiraan.
Selanjutnya Bayer[20]
menentukan 12 indikator kemampuan berpikir kritis, yaitu:
(1) Mengenal inti
permasalahan;
(2) Membandingkan
persamaan dan perbedaan;
(3) Menentukan
informasi yang relevan;
(4) Merumuskan
pertanyaan yang tepat;
(5) Membedakan antara bukti, opini, dan pendapat yang
beralasan;
(6) Mengoreksi
ketepatan argument;
(7) Mengetahui
asumsi yang tidak ditetapkan;
(8) Mengakui adanya kiasan atau peniruan;
(9) Mengakui
bias, faktor, emosional, propaganda, dan arti kata yang kurang tepat;
(10) Mengakui perbedaan nilai
orientasi dan pandangan;
(11) Mengakui kecukupan data, dan
(12) Meramalkan konsekuensi yang mungkin.
Selanjutnya,
Ennis[21], mengidentifikasi 12 indikator berpikir
kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut:
a)
Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan,
menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu
penjelasan atau pernyataan;
b)
Membangun keterampilan dasar,
terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan
mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi;
c)
Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau
mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi
dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan;
d)
Memberikan penjelasan lanjut,
terdiri atas mengidentifikasi istilah, definisi pertimbangan, dimensi dan
mengidentifikasi asumsi; dan
e)
Mengatur strategi dan teknik,
yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
[5] Suherman,dkk.
Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. (Bandung:
JICA tim MKBPM Universitas Pendididkan Indonesia. 2001).hal.58
[7]
Lidinillah, Dindin Abdul Muiz. Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Based Learning). (Makalah, UPI Kampus Tasikmalaya.2009).hal4.
[8] Laila Nurhasanah. Meningkatkan
Kompetensi Strategi Siswa SMP Melalui PBL. (Skripsi
FMIPA UPI Bandung. 2009).hal13.
[14]
Heti Yulianti. Penerapan Model Savi Dalam Pembelajaran
Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. (Skripsi FPMIPA UPI Bandung.2009).hal4
[15] Budi Kurnia.
Pendekatan Masalah Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa. (Skripsi Program SI PGSD UPI Tasikmalaya.2010).hal31.
[17]
Suherman, dkk...............................hal38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar